
"Intelijen memang harus memantau semua informasi yang beredar di publik, termasuk dari situs jejaring sosial. Semakin banyak sumber informasi yang bisa diperoleh, maka hasil kerja intelijen akan semakin baik. Itu istilahnya open source intelligence," tutur pengamat intelijen, Soeripto, di Jakarta, Sabtu (26/3).
Namun, Soeripto menegaskan, dalam pemantauan berbagai informasi yang termuat di situs semacam jejaring sosial, intelijen harus memanfaatkan teknologi canggih. "Hal itu agar pemilik akun situs jejaring sosial itu tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dipantau," jelas dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid menilai, yang menjadi fokus perhatian publik bukannya aksi penyadapan dari sumber-sumber yang terbuka seperti akun publik pada situs jejaring sosial. "Yang jadi persoalan justru model penyadapan dengan cara tertutup. RUU ini tidak mengatur untuk menolak perintah yang dianggap menabrak aturan atau membolehkan adanya penolakan pelaku intelijen di lapangan untuk menolak perintah atasan," tegas Usman.
Usman menyebut, Badan Intelijen Negara (BIN) memang dibenarkan untuk melindungi informasi intelijen. Tetapi, hal itu tidak bersifat absolut. "Orang yang menjalankan tugas intelijen dan berhadapan dengan hukum, tidak akan membuka informasi karena tidak ada jaminan kepastian hukum. Contohnya, Polycarpus yang tidak juga mau buka mulut tentang aksi operasi intelijen yang dilakukannya dalam aksi pembunuhan Munir, bahkan hingga dia menerima vonis 20 tahun penjara," ucapnya.
0 komentar:
Post a Comment